Namanya
Tachibana Makoto. Seorang lelaki yang cukup populer di SMA Iwatobi.
Tampan, pintar, tubuhnya atletis, murah senyum, pecinta kucing, dan
berhati lembut. Makoto
memiliki sosok perempuan yang sangat ia sayangi, setelah ibunya
tentunya. Namanya adalah [Fullname]. Sahabat, teman sekelas, dan partnernya. Namun, Makoto sangat tidak suka dengan salah satu sikap [Name].
Pagi
itu, Makoto tengah berjalan kaki menuju sekolah seperti biasa. Di tengah
perjalanan ia melihat seorang figur yang ia sayangi. [Name]. Makoto bergerak menghampiri [Name] dan memegang bahu gadis yang tengah berjongkok di depan hamparan bunga dandelion.
"[Name]." Makoto melempar senyumnya begitu [Name] berbalik dan melihatnya.
"Mako-chan?"
Makoto mengabaikan [Name] yang menyebut namanya. Tangannya terulur menyentuh hamparan dandelion. "Kau suka dandelion, [Name]?"
Yang ditanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kenapa kau menyukainya? Biasanya para gadis begitu menyukai bunga yang indah dan beraroma wangi."
[Name] terdiam sesaat kemudian tersenyum tipis. "Bunga dandelion itu mirip denganku, bukan?"
Makoto diam. Ia tak suka akan sikap [Name] yang seperti itu. Terlihat seperti begitu merendahkan diri sendiri.
Makoto bangkit seraya memegang telapak tangan [Name] yang menyebabkan [Name] juga ikut berdiri.
"Ayo berangkat bersama." Makoto melemparkan senyum khasnya. [Name] mengangguk dan tersenyum.
☆☆☆
Jam istirahat tiba. Seluruh siswa dengan cepat berhamburan keluar kelas. Terkecuali Makoto dan [Name].
"[Name],
ini untukmu. Tadi okaa-san terlalu banyak membuat takoyaki sehingga
masih banyak sisanya. Kau sangat suka takoyaki, kan?" Makoto memberikan
[Name] sebuah kotak makan.
"Okaa-san..."
[Y/N] menggigit bibir bawahnya. Selalu saja seperti ini. Jika ada
sesuatu apapun itu yang berhubungan dengan orang tua [Y/N] selalu ingin
menangis.
"Gomennasai, [Name]." Makoto membawa [Name] ke dalam pelukannya dan mengusap dengan lembut surai [H/C] milik gadis itu.
[Name] menarik tubuhnya menjauh dari dekapan Makoto dan menghapus jejak air matanya.
"[Name], aku tak bermaksud membuatmu seperti itu. Sungguh. Aku.. aku benar-benar minta maaf."
[Name] menggeleng dan tersenyum. "Tidak apa. Aku saja yang terlalu rapuh."
"Ahem!"
Seorang gadis berdehem keras membuat Makoto dan [Name] sontak menoleh.
"Hai, Anak Pelacur. Apa kau sudah tahu di mana Ayahmu berada?" Gadis itu
tertawa keras.
Makoto menoleh kepada [Name] yang menggigit bibir bawahnya, menahan air matanya turun.
"[Fullname]-san, orang sepertimu tidak pantas hidup di dunia." Gadis itu terus melanjutkan kata-katanya.
Makoto bangkit dan menarik krah seragam gadis itu. Ia sudah tidak tahan melihat [Name] yang selalu dibully oleh teman sekelasnya. [Name] terkejut melihat aksi Makoto. Dengan segera ia ikut bangkit dan menghampiri Makoto. [Name] memberikan Makoto senyuman. "Sudahlah, Mako-chan."
"[Name]? Kenapa?" Makoto mengernyitkan dahi, heran.
"Tak ada gunanya." [Name] masih mempertahakan senyumnya untuk Makoto.
[Name]
kini memandang gadis di hadapannya. "Jika kau ingin aku pergi, maka aku
akan pergi sekarang." Setelah itu ia mengambil tasnya.
"Terima
kasih, teman-teman. Terima kasih sudah mau menjadi temanku walau hanya
sebentar. Mulai besok kalian takkan melihat bunga dandelion ini di
bangkunya. Bunga dandelion ini akan pergi dan mencari tempat yang baru.
Terima kasih." [Name] kemudian pergi meninggalkan kelasnya.
Semuanya terdiam mendengar [Name]. Mereka tidak mengerti apa yang gadis itu bicarakan. Yang mengerti hanya Makoto seorang.
Makoto segera mengambil tasnya kemudian berlari mencari [Name].
☆☆☆
Makoto mencari [Name] ke mana-mana. Namun gadis yang dicarinya tak juga memperlihatkan batang hidungnya. Makoto berpikir keras kira-kira di mana tempat yang dijadikan tempat persembunyian oleh [Name]. "Ah, aku ingat!"
Makoto kembali melangkahkan kakinya. Kali ini ia berlari lebih cepat dari sebelumnya.
Setelah lama berlari, akhirnya Makoto telah menginjakkan kakinya di suatu tempat. Tempat di mana bunga dandelion terhampar luas.
Benar
dugaannya. [Name] ada di sana. Tengah duduk sembari menenggelamkan
kepalanya pada lipatan antara lengan dan lututnya. Bahunya terguncang
hebat. Menandakan gadis itu tengah menangis. Makoto melangkah mendekati [Name] dan duduk di samping gadis itu. Makoto
mengusap surai [H/C] milik [Name] dengan lembut. Seolah-olah jika ia
melakukannya dengan kasar, [Name] dapat hancur seketika.
[Name]
terkejut ketika ia merasakan ada sentuhan hangat di kepalanya. Ia
menggunakan indra penciumannya yang tajam guna mencari tahu siapa pelaku
yang mengusap kepalanya.
[Name] tersenyum. Ia tahu aroma ini. Ini adalah aroma yang sangat ia suka. Aroma Makoto.
"Mako-chan," [Name] menengadah, menatap Makoto yang tengah tersenyum. "Kenapa kau tahu aku di sini?"
"Karena kau adalah dandelion. Tempat ini adalah tempat di mana dandelion-dandelion ini tumbuh dan berkembang."
[Name]
menunduk. "Hm. Kau benar. Aku memanglah dandelion. Tidak secantik
mawar, tidak seabadi edelweis, tidak sewangi melati, dan tidak seindah
lili. Aku bahkan tidak memiliki mahkota yang membuatku tampak menarik."
[Name]
tersenyum tipis. "Tapi aku bisa membuat orang-orang bahagia saat mereka
meniupku dan aku akan pergi dari kehidupan mereka."
Makoto menggeleng. "Kau tidak sepenuhnya benar, [Name]."
"Kenapa?"
"Orang-orang
pasti berpikir bahwa dandelion adalah bunga yang terlemah. Tapi mereka
salah besar. Justru dandelion adalah bunga yang terkuat." Dandelion bisa
tumbuh di lingkungan yang sukar ditumbuhi oleh bunga lain seperti celah
batu dan rerumputan liar."
[Name] tertegun mendengarkan ucapan Makoto.
"Ketika
orang-orang meniup bunga dandelion, otomatis kelopak-kelopak dandelion
akan terbang. Kelopak-kelopak itu akan terbang tinggi di angkasa,
mencari tempat baru untuk dapat tumbuh dan berkembang." Makoto
melanjutkan penjelasannya.
"Tapi, aku tidak seperti apa yang kau ucapkan!" [Name] meremas rok yang ia kenakan.
Makoto tersenyum hangat. "Kau seperti itu, [Name]."
"Kenapa kau mempedulikanku?" tanya [Name] sarkastik.
Makoto
tersenyum. "Karena aku mencintaimu. Kau adalah dandelion terindah yang
hadir di hidupku. Oleh karena itu aku takkan membiarkan siapapun merusak
dan membuat kelopak-kelopak dandelionku ini berterbangan mencari tempat
yang baru selain diriku."
Manik
[Name] kembali berkaca-kaca. "A-aku juga tidak ingin mencari tempat
yang baru jika aku saja punya tempat bernaungku yang hangat seperti
Mako-chan. Tapi bagaimana jika kelopak-kelopakku ditiup angin? Otomatis
akan berakhir sama seperti ditiup manusia, bukan?"
"Yah, jika angin itu akan sulit ... tapi aku akan tetap menjagamu dengan seluruh kemampuanku."
[Name] mengangguk. "Baiklah, aku mengerti."
"Kau mau menjadi dandelionku, [Name]?" Makoto menggenggam tangan [Name]. "Aku akan menjadi tempat bernaungmu."
[Name] mengangguk senang. "Tentu, Mako-chan."
Makoto memeluk erat tubuh [Name].
Kau adalah tempatku bernaung. Satu-satunya tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri.
Kau
adalah dandelionku. Kau terlihat rapuh. Namun kenyataannya kau begitu
kuat. Kau adalah dandelionku yang terindah. Oleh karena itu aku tak akan
membiarkan siapapun merusak keindahanmu, juga meniup kelopak-kelopakmu
sehingga kau akan terbang meninggalkan tempat bernaungmu, yakni aku.
Komentar
Posting Komentar